ILMU ASBABUN NUZUL

ASBABUN NUZUL
Makalah ini disusun oleh: Fiyadhillah Jazuli, Chamidah Mardiyanti, Sigit Setyawan, Muhammad Zulkarnain, dan Muhammad Nasyirudin.
  1. Pengertian Asbabun Nuzul

Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu. Sedangkan pengertian asbabun nuzul secara terminologi yang dirumuskan oleh para ‘ulama, diantaranya:
1.   Az-Zarqoni
Asbabun nuzul adalah hak khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’anyang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.
2.    Ash-Shabuni
Asbabun nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan suatu peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi saw. atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama.
3.    Shubhi Sholih
مَا نَزَلَتِ الْأيَةِ أوِ الْأيَاتِ بِسَبَبِهِ مُتَضَمِّنَةً لَهُ أو مُجِيْبَةً عَنهُ أو مُبيِّنةُ لِحُكمِهِ زَمَنَ وُقُوْعِهِ.
Asbabun nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.
4.    Mana’ Al-Qaththan
مَا نَزَلَ قُرْأنُ بِشَأْنِهِ وَقْتَ وُقُوْعِهِ كَحادِثَةٍ أو سُؤَالٍ
“Asbabun nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.”
            Dari semua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa Asbabun Nuzul adalah kejadian atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat Al-Qur’an dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian tersebut.
B.     Hubungan Wahyu Dengan Konteks (Peristiwa)
Definisi diatas telah memberikan gambaran bahwa hubungan antara wahyu dengan suatu peristiwa-peristiwa itu sangatlah terikat kuat. Karena sudah menjadi menjadi keharusan, turunnya ayat-ayat pada saat terjadinya peristiwa atau pada saat diarahkannya suatu pertanyaan, kemudian turunlah satu atau beberapa ayat yang menjelaskan hukum pada peristiwa tersebut atau dari suatu pertanyaan yang dihadapkan kepada Nabi Muhammad saw.
Namun, jika suatu peristiwa terjadi sebelum turunnya ayat (pada masa yang lama), maka hal itu tidak termasuk dalam pembahasan asbabun nuzul, melainkan termasuk ke dalam bab yang membahas kabar dari peristiwa-peristiwa lampau dan ummat-ummat terdahulu.
Dan juga, tidak lazim bahwa turunnya suatu ayat terjadi setelah peristiwa atau pertanyaan secara langsung, akan tetapi sah-sah saja apabila terlambat dalam waktu yang pendek.  Seperti pada surat al-Kahfi ayat 23-24, karena turunnya ayat tersebut adalah 15 malam setelah adanya suatu peristiwa. Demikian pula halnya pada ayat-ayat yang berkaitan dengan haditsah al-ifk (berita bohong), turunnya ayat kurang lebih satu bulan setelah peristiwa.


C.    Sumber Info Asbabun Nuzul
Semua lafal dari riwayat-riwayat yang shahih tidak selalu berupa nash sharih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan sebab turunnya ayat. Diantaranya ada yang dengan pernyataan konkrit, dan ada pula dengan bahasa yang samar. Karena, mungkin yang dimaksudkan adalah sebab turunnya ayat atau hukum yang terkandung di dalamnya.
Apabila ada perawi menerangkan dengan lafal (kata) “sebab” atau menggunakan fa’ta’qibiyah (kemudian) yang masuk ke materi turunnya ayat, sesudah ia menceritakan suatu peristiwa atau sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad saw., maka yang demikian itu merupakan nash (pernyataan) yang jelas menunjukkan sebab turunnya ayat tersebut. Tetapi, apabila seorang perawi atau para sahabat menyatakan “Ayat ini turun tentang itu”, maka ini mengandung dua kemungkinan, yakni; mungkin itu merupakan sebab turunnya suatu ayat atau mungkin pula mengandung suatu hukum dalam ayat tersebut.
Sebagian ahli hadits mengelompokkan perkataan semacam itu (dari para sahabat/perawi) ke dalam hadits Musnad dan Marfu’. Namun sebagian lagi (Imam Ahmad dam Imam Muslim cs) tidak memasukkannya ke dalam hadits Musnad, tetapi mereka memandang ucapan tersebut sebagai Istidlal (memakai ayat itu sebagai dalil untuk menetapkan suatu hukum) atau Takwil (interpretasi) dari sahabat/tabi’in yang bersangkutan.
Dan apabila seorang perawi/sahabat berkata “Ayat ini turun tentang hal ini”, sedangkan perawi/sahabat yang lain berkata “Ayat ini turun bukan tentang ini”. Jika lafal itu dapat menerima maksud dari kedua perawi tersebut, maka dapatlah dipertanggung jawabkannya kepada keduanya dan tidak ada pertentangan diantara keduanya. Tetapi, kalau lafal itu tidak dapat menerima dari perawi tersebut, maka yang dipegangi adalah yang sesuai dengan petunjuk lafalnya dan sesuai dengan siyaqul kalam (konteks kalimat).
Akan tetapi apabila perawi/sahabat berkata yang berlandaskan nash yang sharih, maka sudah jelaslah bahwa yang dipegangi adalah yang menggunakan yang sharih, karena nash yang sharih harus didahulukan.


D.    Bentuk-Bentuk Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul bisa ditinjau dari berbagai aspek. Jika kita tinjau dari aspek bentuknya, asbabun nuzul dapat dibagi kedalam dua bentuk. Yang pertama berbentuk peristiwa dan yang kedua pertanyaan. Asbabun nuzul yang bentuk peristiwa. Sedangkan dari segi jumlah sebab dan turnnya ayat, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid, yaitu  turunnya lebih dari satu ayat atau sekelompok ayat yang turunnya satu) dan ta’addud al-nazil  wa al-sabab wahid, maksudnya inti persoalan yang terkandung didalam suatu ayat atau sekelompok ayat yang turun lebih dari satu sebab turunnya satu.
Dari pernyataan diatas dapat kita simpulkan dan contohkan sebagai berikut:
1.        Sebagai tanggapan atas suatu peristiwa. Misalnya, Urwah bin Zubair mengalami kesulitan dalam memahami hukum fardlu sa’i antara shafa dan marwah. (Al-Baqarah: 158).
2.        Sebagai jawaban yang diajukan kepada Rasul. (An-Nisa’: 11).
Ayat tersebut turun untuk memberikan jawaban secara tuntas terhadap pertanyaan Jabir kepada Nabi.
3.        Sebagai jawaban dari pertanyaan Rasul. (Maryam: 64)
4.        Sebagai tanggapan atas pertanyaan yang bersifat umum, yaitu diturunkan untuk memberi petunjuk perihal pertanyaan yang bersifat umum yang muncul dikalangan sahabat Nabi. (Al-Baqarah: 222).
5.        Sebagai teguran kepada Nabi.
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya.” (‘Abasa: 1-2)
E.     Kaidah-Kaidah Dalam Memahami Asbabun Nuzul
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, asbabun nuzul merupakan salah satu ilmu yang sangat penting didalamnya. Ibarat mata uang, asbabun nuzul dan ulumul Qur’an adalah dua wajah yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Tak ayal jika salah seorang tokoh mufassir terkenal (Ibnu Taymiyyah) mengemukakan bahwa “Mengetahui asbabun nuzul suatu ayat Al-Qur’an dapat membantu kita untuk memahami pesan-pesan yang dikandung ayat tersebut.” Tidak sampai disitu, Ibnu Taymiyyah menambahkan bahwa “Ihwal asbabun nuzul adalah suatu ayat memberikan dasar yang kokoh dalam menyelami kandungan suatu ayat Al-Qur’an.
Pandangan Syaikhul Islam diatas disadari betul oleh kaum muslimin yang ingin memahami pesan-pesan yang terkandung dalam suatu ayat dalam Al-Qur’an. Berkenaan dengan itu dalam ilmu asbabun nuzul, memahami kaidah-kaidah dalam asbabun nuzul itu dapat dikatakan sebagai ruh dari ilmu asbabun nuzul itu sendiri. Adapun kaidah-kaidah dalam memahami asbabun nuzul itu dapat menggunakan beberapa cara, tapi yang paling urgen adalah adanyaredaksi yang paling sharih (pasti atau jelas). Hal itu beralasan karena sering terjadinya beberapa riwayat yang berbeda-beda tentang sebab turunnya suatu ayat.
Untuk mengatasi masalah diatas dan agar tidak terjadi problem yang dapat membuat bingung diri kita, khususnya pemula, para ‘ulama memaparkan beberapa langkah yang dapat mempermudah bagi siapa saja yang berusaha memahami ilmu asbabun nuzul, terutama mengenai kaidah-kaidah yang bersangkutan didalamnya yaitu sebagai berikut:
1.    Mengambil riwayat yang sharih/tegas. Hal ini dilakukan bila ahli tafsir (mufassir) mengemukakan dua riwayat yang bertentangan antara yang pertama dan kedua. Misalnya, yang pertama menyebutkan sebab turunnya ayat secara tegas, sedangkan yang kedua tidak. Maka dalam hal ini yang diambil sebab turunnya adalah riwayat yang pertama.
2.    Melakukan study selektif (tarjih). Ini terjadi apabila terdapat dua riwayat mengungkapkan sebab yang berbedadari ayat yang sama, maka yang dipegang adalah sanadnya yang shahihi bukan yang dho’if. Bila kedua sanadnya sama-sama shahih, maka kita harus melakukan penelitian lebih lanjut sehingga dapat diketahui riwayat yang terkuat diantara keduanya.
3.    Melakukan study kompromi (Jama’). Langkah ini diambil bila kedua riwayat itu sama-sama memiliki keshohihan hadits yang sederajat dan tidak mungkin dilakukan tarjih.


F.     Manfaat Asbabun Nuzul Dalam Menafsirkan Al-Qur’an.
Mengetahui sebab turunnya ayat atau asbabun nuzul terdapat banyak manfaat dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya, dan terpenting dalam proses mempelajari ‘ulumul Qur’an yang memerlukan pengetahuan dan penggambaran khususnya. Diantaranya sebagai berikut:
1.        Mengetahuai hikmah penetapan hukum. Karena sesungguhnya pengetahuan tersebut untuk menegakkan kebaikan ummat, menghindarkan bahaya, menggali kebaikan, dan rahmat.
2.        Pengetahuan terhadap sebab turunnya ayat membantu memahami maksud tujuan ayat dan kemudian menafsirkannya dengan benar. Serta dapat memudahkan dalam menghafal ayat-ayat agar tidak keluar dari kepastian wahyu dalam ingatan atau pikiran.
3.        Mengetahuai terhadap siapa yang dituju oleh sebuah ayat, sehingga tidak dibenarkan menduga-duga siapa pun sebagai orang yang bertanggung jawab dari ayat tersebut.
4.        Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari hukum ayat, apabila terdapat yang mengkhususkannya.
5.        Takhsish terhadap hukum dengan asbabun nuzul, dimana orang yang memandang lafal atau ungkapan suatu ayat adalah dengan sebab khusus, bukan dengan keumuman lafal.
6.        Untuk membangun kaidah-kaidah (prinsip) yang menjadi penyangga pikiran.

DAFTAR PUSTAKA